Nasionalisme dan Esensi Budaya Indonesia

Nasionalisme sebagai paham kebangsaan seharusnya membawa dampak positif terhadap suatu bangsa, namun kerap kali justru menimbulkan satu kesalahpahaman dalam mengartikannya. Dalam konteks kebudayaan, nasionalisme cenderung diartikan sempit. Nasionalisme budaya sering diartikan hanya sebatas produk hasil dari budaya itu sendiri seperti tarian, makanan, pakaian dan lainnya. Padahal ada nilai yang lebih penting dari nasionalisme budaya tadi, bukan sekedar kecintaan terhadap produk hasil budaya melainkan esensi dari nilai budaya itu sendiri, yakni saling menghargai dan meghormati Pemahaman yang sempit tadi, dapat menimbulkan masalah yang lebih kompleks, lebih dari konteks pemahaman. Yakni munculnya nasionalisme yang kondisional dan situasional apabila ada musuh bersama. Selebihnya, nasionalisme terkadang sekedar jargon belaka. Yang terkadang disuarakan demi kepentingan semata.

Lonceng sekolahku kembali berbunyi, kali ini untuk yang ketiga kalinya. Suaranya riuh dan panjang, pertanda kegiatan belajar-mengajar telah usai. Semua murid telah mengerti tanda tersebut, alat tulis, buku-buku mulai dari buku polos hingga buku doktrinasi yang wajib kita miliki segera dikemas. Usai sekolah seperti ini, ada yang langsung sibuk menghubungi jemputan, ada yang bergegas menuju tempat les untuk mengejar ketertinggalan atau mungkin juga karena paksaan orang tua. Atau ada pula yang sekedar duduk berbincang-bincang di depan kantin sekolah. Mereka menyebutnya “nongkrong”. aku lebih memilih pulang saja, istirahat setelah lelah dipaksakan untuk penetrasi semua doktrinasi kosong tak tahu makna.

Rumahku dekat sekolah, dekat pula dengan jalan raya. Jadi perjalanan pulang kerumah pasti dihiasi dengan hiruk pikuk khas ibukota. Suara raungan bus kota yang tak kenal usia, meskipun jalannya sudah teronggok-onggok dengan kepulan hitam menyertainya. Klakson mobil yang terus memekik telinga, sayup ocehan anak jalanan dengan bunyi uang recehnya serta obrolan warung kopi yang kadang bukan tanpa makna. Hingar bingar ini selalu menjadi sahabatku dikala pulang ke rumah hampir bertahun-tahun lamanya. Ah, tapi itu sudah biasa! Riuh khas ibukota. Kalau tidak begini bukan Jakarta namanya.

Beberapa minggu terakhir, ada yang berbeda dengan jalan kota metropolitan ini. Riuh semakin keras, kali ini bukan karena suara knalpot hitam butut yang menyemprotkan bibit kanker keseluruh paru-paru masyarakat ibukota, bukan juga suara klakson yang membara. Riuh kali ini berbeda, diiringi dengan lagu-lagu perjuangan khas jaman reformasi. Spanduk tak sedap mata beriringan dimana-mana. Orang-orang beriringan bernyanyi sambil berteriak “Ganyang Malaysia!”. Beberapa dari mereka lebih provokatif, membakar ban bekas yang asapnya mengepul di tengah terik Jakarta. Terkadang satu diantaranya maju kedepan diiringi teriakan. Dengan membawa bendera kombinasi merah-putih-biru serta terdapat bulan sabit dan matahari di sudut kirinya. Kemudian mereka membakarnya, entah apa maksudnya dan mungkin mereka pun tidak tahu. Yang jelas beberapa hari belakangan baru aku tahu bahwa negara yang benderanya dibakar tersebut bernama Malaysia. Itupun aku tahu setelah membuka buku kapita selekta. Maklum aku tidak terlalu pintar, oleh karenanya tidak pernah juara di kelas. Namun aku bisa jamin aku lebih pintar dari wakil-wakil pilihan ayahku di Senayan sana. Setidaknya dalam menghapal bunyi kalimat per kalimat dalam pancasila. Ada lagi yang lebih menjijikan, beberapa dari mereka kemudian melempar benda busuk ke depan gedung di tepi jalan raya. Terrnyata yang dilempar adalah kotoran manusia. Sungguh kreatif, bagaimana bisa mereka mengumpulkan kotoran manusia hingga sedemikian rupa dan dijadikan properti dalam bersuara. Ah, ironi! Mereka senang dengan kegiatan mereka, sedang aku penat di jalan raya. Bagaimana tidak, klakson berbunyi dengan frekuensi lebih sering. Gerutu orang-orang jadi lebih jelas terdengar, bahkan terkadang seperti manusia tak beradab. Padahal mereka semua berdasi. Ah sudahlah, menggerutu seperti ini pun tidak bisa menghilangkan keruwetan ibukota.

Beberapa minggu setelahnya, aku membaca Koran. Jarang sekali aku demikian. Mungkin ini kali pertama, setelah lama sekali aku tidak bersentuhan dengan media tersebut.  Terakhir ketika tak sengaja terbaca karena membeli donat di tukang keliling. Itupun beritanya tentang skandal pria dewasa berdasi dengan wanita cantik dengan tubuh mempesona. Atau yang lebih ramai lagi, ketika mereka membicarakan tentang “cicak dan buaya”. Aneh menurutku, bagaimana mungkin binatang-binatang itu bisa menjadi perbincangan seluruh bangsa, mengalahkan Sang Garuda yang selalu bertengger didepan kelasku. Kecenderunganku malas membaca media cetak, dikarenakan sudah tidak ada lagi lembaran bergambar favoritku seperti waktu dulu. Selain memang isinya sekarang sudah mirip dengan ocehan tetanggaku yang tak ada habisnya mengumpat dan mencerca. Provokatif! Ah, tapi itu sudah lama sekali! Sekarang beritanya lebih menarik. Tentang orang-orang pilihan ayah dan ibuku tahun 2009 lalu. Mereka ingin membangun rumah mereka. Meskipun katanya, itu merupakan rumah kita bersama dan mereka sekedar menumpang 5 tahunan. Dananya luar biasa. Kalau dipikir mungkin aku bisa berenang dengan uang-uang itu. Bisa dibayangkan berapa banyak aku bisa membelikan adikku permen kesukaannya dengan uang-uang itu. Sesungguhnya aku memiliki ide untuk mereka, cukup brilian bila diperhatikan dengan cermat. Mengapa mereka tidak mendaftarkan rumah mereka ke salah satu reality show disalah satu televisi swasta nasional? Acaranya  khusus merenovasi rumah secara cuma-cuma. Didampingi artis pula? Bayangkan, apa lagi yang kurang? Itulah sebabnya, terkadang aku merasa lebih pintar dari mereka. Mengapa pula bukan aku saja yang menggantikan mereka duduk disana? Rasanya aku lebih pantas, setidaknya dalam pemikiranku tadi.

Beberapa waktu kemudian, aku duduk santai. Kali ini menonton televisi. Kegiatan rutinku setelah pulang menuntut ilmu seharian. Kali ini acaranya lebih religius. Tentang agama.  Kebetulan sekali pikirku, sudah lama aku tidak mendapatkan siraman rohani. Aku keraskan volumenya. Ternyata diluar perkiraanku, bukan siraman rohani. Memang isunya berkisar tentang agama, tapi kali ini lebih sensitif. Ternyata informasi penyerangan seorang Petua agama yang hendak beribadah. Mengerikan! Ternyata saat ini tidak lagi mudah untuk bertemu Tuhan. Harus ada pengorbanan. Terlebih fisik. Biasanya saat tiba waktunya beribadah, tantangan terberat saat itu berupa psikologis yakni rasa malas yang luar biasa. Tapi yang aku saksikan sekarang adalah, seseorang harus tertusuk perutnya ketika hendak melaksanakan ibadah. Aku terbayang ketika hal tadi berbalilk kepadaku. Dalam ajaranku, diwajibkan bertemu Tuhan sebanyak 5 kali dalam satu hari. Jadi 5 kali pula aku harus mendapatkan tusukan yang mengerikan seperti apa yang Petua itu rasakan saat ini? Bukan main! Kalau dipikir lebih baik tidak beragama. Tapi tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Lagipula beragama saja harus seperti itu, apalagi tidak. Jadi apa tubuhku nanti?

Seketika itu pula aku merefleksikan waktu yang aku lalui kebelakang. Mulai dari pemandangan di jalan raya, berita di koran dan kali ini televisi pun demikian. Berada dimana sebenarnya aku ini? Mengapa semuanya begitu rumit? Orang-orang berteriak nasionalisme namun disatu sisi mereka menginjak-injak bangsa lain. Orang-orang berteriak nasionalisme, ketika muncul musuh bersama. Orang-orang berteriak nasionalisme namun diiringi dengan korupsi tidak masuk akal. Orang-orang berteriak nasionalisme tapi disisi lain menaruh curiga dan tidak memiliki toleransi antar agama. Dimana sebenarnya aku ini? Indonesia? Bukan! Ah, jelas bukan! Bukan seperti ini Indonesia yang nenek ceritakan.

Ya, bukan! Aku masih ingat betul akan kisah nenek yang selalu aku dengar sebelum dunia mimpi menyapaku. Ketika aku kecil dulu, sebelum tidur nenek sering berkisah tentang negeri yang elok rupa. Bangsa yang besar, bangsa yang berbudaya. Negeri itu bernama Indonesia. Sungguh indah deskripsi nenek. Negeri itu diselimuti kekayaan luar biasa. Bagaikan surga! bayangkan tanahnya subur, lautannya kaya, dan gunungnya tinggi menjulang dengan kokoh. Orang-orang hidup rukun dan damai dengan berbudaya. Namun ada yang berbeda. Bukan karna mereka miskin budaya, bukan pula mereka tidak punya identitas dengan produk budaya yang menjadi ciri khasnya. Namun di negeri yang ini, budaya lebih bernilai dan berharga dari itu semua! makna budaya yang mereka junjung tinggi lebih dari sekedar seremonial belaka. Budaya bukan sekedar masalah tari kecak yang dahulu kerap aku tampilkan di panggung pentas seni sekolah. Bukan pula masalah makanan enak yang memiliki cita rasa tinggi yang sering nenek buatkan untukku setiap minggunya.  Budaya juga bukan hanya pakaian yang memiliki nilai seni tinggi dengan segala kerumitan yang membungkus keindahan bagi para pemakainya, dengan berbagai motif yang unik dan khas bermakna. Bukan hanya itu budaya di negeri yang nenek ceritakan. Berbudaya di negeri yang nenek ceritakan lebih tinggi dan bernilai dari itu semua, yakni menjunjung tinggi asas saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Ya, itulah budaya mereka. Esensi sebenar-benarnya budaya ujar nenek di negeri yang beliau ceritakan. Yang menghasilkan tarian cantik dan indah yang sedap dipandang mata, yang menghasilkan ragam pakaian yang unik luar biasa. Dan hasil olahan makanan yang lezat menggugah selera. Menghormati dan menghargai, ya itulah makna budaya di negeri yang nenek kisahkan sesungguhnya. Seketika itupun aku bertanya dengan polos dan penuh tanya. Mengapa demikian? Apa benar dengan sekedar menghormati dan menghargai itu bisa menjadikan negeri besar dengan ragam entitas bisa hidup penuh harmoni? Seketika itupun nenek menjawab dengan lugas dan penuh bangga. Menghormati dan menghargai yang dimaksud adalah menghormati dan menghargai atas hakikat bangsa lain dan martabat bangsa lain, dengan demikian berarti kita menghargai bangsa kita sendiri. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bangsa lain tambah nenek. Menghormati dan menghargai atas amanah yang telah orang percayakan kepada kita, bukan melanggengkan itu semua demi kepentingan pribadi semata apalagi ditengah-tengah derita sesama. Menghormati dan menghargai bahwa kita hidup bertetangga dengan umat lain. Karena dengan itulah kita menjadi kesatuan yang utuh yang dipandang tinggi derajatnya dimata dunia internasional. Bergitulah hakikat berbudaya  ujar nenek. Ah, indah! Indah sekali bangsa yang dikisahkan oleh nenek tadi. Aku ingin sekali disana. Tumbuh besar hingga dewasa dan hari tua.

Kali ini aku berandai-andai. Andai saja nenek masih ada disini, pasti aku akan meminta nenek bercerita kepada seluruh pemimpin bangsa ini agar mereka paham betul arti budaya sesungguhnya. Andai saja nenek masih ada disini, pasti aku akan meminta nenek bercerita kepada seluruh masyarakat di negeri ini. Berkisah tentang negeri yang damai, penuh kasih dan harmoni. Dimana seluruh masyarakat benar-benar berbudaya yang sesungguhnya. Agar negeri yang aku tinggali sekarang menjadi negeri seperti apa yang nenek kisahkan kepadaku. Atau setidaknya, aku berandai lagi. Andai saja nenek masih hidup di dunia. Duduk disini, bersamaku. Di petang penat ini, setelah semua doktrinasi disekolah yang tak tahu arah. Kembali bercerita tentang negeri tersebut dengan penuh harap. Harapan agar negeri tersebut benar adanya. Ah, lagi-lagi sekedar perandaian. Mana mungkin dapat sekejap menjadi negeri ideal yang penuh harmoni, ditengah saat ini orang-orang merasa paling benar adanya, ditengah setiap orang merasa paling tahu akan adanya surga, ditengah setiap orang tidak malu lagi mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan ditengah setiap orang salalu ingin dihargai, bukan menghargai. Mungkin hanya sebuah utopia belaka. Dan sebuah wacana antara aku dan nenek. Atau, mungkin saja apa yang nenek ceritakan tidak benar adanya. Hanya sebuah mitos, atau mungkin pula  hanya sebuah guyonan pengantar tidur bagi seorang bocah kecil yang belum tahu apa-apa. Sejenak aku terdiam. Berpikir, mungkin benar adanya apa yang aku pikirkan. Tersenyum dan mengangguk saat aku mengingatnya kembali. Seketika itu pula aku bangkit, membuka mata, memekakan telinga. Bangkit dari segala pesimisme dan sinisme yang terkadang menjadi racun bagi kehidupan. Kenapa tidak aku berandai? Kenapa takut aku berandai? Bukankah selalu ada kesempatan? Bukankah selalu ada harapan? sekecil apapun itu. Ya, aku paham. Terkadang pesimisme dan sinisme bukan hanya sebuah proyeksi sebagai hitung-hitungan logika. Tapi jauh lebih berbahaya dari itu semua. Mereka merenggut dan membombardir semua harapan dan kesempatan tadi, habis menjadi abu dan tertiup angin.bahkan sebelum mereka menjadi sebuah benda. Aku yakin, dan kini dalam fase tertinggi dalam level keyakinanku. Bahwa masih ada harapan dan kesempatan. Karena ceria nenek terlalu indah untuk selalu dikisahkan dan dirangkai dalam kata-kata. Terlalu indah bila hanya sekedar menjadi memori belaka atau sebagai pengantar tidur disetiap malam purnama. Aku yang mendengarkan, aku yang melakukan. Meskipun aku tidak pintar segala, meskipun aku bukan seorang juara. Atau aku bukan anak seorang penguasa. Tapi aku anak seorang nenek sederhana, yang mengerti akan budaya sesungguhnya. Budaya menghormati dan budaya menghargai sesama. Dulu mungkin aku hanya bisa mendengarkan, namun saat ini sudah waktunya aku melakukan. Meskipun hanya dengan hal sederhana. Dengan berbudaya yang sesungguhnya, sesuai dengan pesan nenek yang aku cinta.

Leave a comment