Nasionalisme Satu Rupiah

Beberapa bulan terakhir, masyarakat diributkan oleh berbagai persoalan yang melanda tanah air. Coba untuk flashback, ada ribut-ribut Nazarudin, pecah koalisi, bom, reshuffle kabinet dan berujung pada launching album baru Bapak Presiden. Banyak yang berpendapat hal ini merupakan fenomena ‘biasa’ menjelang pilpres. Namun yang jelas hal itu tidak membuat keadaan masyarakat semakin baik.
Diantara sekelumit cerita yang datang silih berganti, ada satu cerita unik yang datang dari salah satu satwa langka yang kita miliki. Masyarakat dihebohkan dengan berita baik masuknya Komodo sebagai salah satu nominasi 7 Keajaiban Dunia Baru oleh New 7 Wonders of Nature. Berita tersebut disambut positif oleh masyarakat dengan berbondong-bondong memberikan dukungan kepada salah satu aset bangsa tersebut.
Dukungan disampaikan melalui SMS kepada nomor yang ditunjuk. Tidak tanggung-tanggung, berbagai lapisan masyarakat dari orang biasa hingga publik figur pun ikut mendukung suksesnya Komodo menjadi keajaiban dunia. Sungguh kolektivisme yang cukup positif mengingat kondisi bangsa yang sedang carut marut.

Namun belakangan, ternyata Komodo sendiri menghadapi berbagai kontroversi dan persoalan. Panitia New 7 Wonder dirasa tidak kredibel dalam menyelenggarakan ‘kontes’ ini. Maladewa lah yang pertama kali bertindak tegas untuk mundur dari kontes ini. Alasannya sangat sederhana, karena pihak penyelenggara dianggap tidak transparan dalam menjelaskan bagaimana cara mereka menghitung dukungan.
Apakah pemerintah Indonesia tahu? Jelas iya, Emmy Hafild sebagai Ketua Pemenangan Komodo dan sekaligus aktivis lingkungan jelas mengetahui hal tersebut. Namun beliau tetap optimis bahwa dukungan terhadap Komodo akan terus mengalir meskipun tidak disebutkan jumlah pasti dari voters yang telah masuk (1).
Fakta lain yang cukup mencengangkan adalah biaya-biaya yang tidak terduga yang semakin meningkat jumlahnya. Ternyata, untuk dapat masuk kedalam nominasi tersebut, Pemerintah Indonesia perlu menyetor uang meskipun hanya berjumlah $200. Maladewa sendiri mengaku membutuhkan total $420 ribu untuk mensponsori tur dunia dengan menerima kunjungan delegasi, menyediakan perjalanan balon udara, penerbangan, akomodasi, kunjungan wartawan. Selain itu biaya $ 1 juta dolar bagi penyedia layanan telepon untuk berpartisipasi dalam kampanye New7Wonders dan $1 juta lagi agar maskapai penerbangan mereka dapat memasang logo New7Wonder di pesawat mereka. (lebih jelas klik disini)
Berita ini urung membuat Pemerintah Maladewa mengundurkan diri. Lebih lanjut ternyata ada fakta yang lebih mencengangkan. UNESCO mengungkapkan bahwa penyelenggara atau lembaga New 7 Wonders sama sekali tidak terhubung dengan lembaga UNESCO. (untuk pernyataan resmi UNESCO dapat dilihat disini)
Lalu bagaimana Indonesia? Alasan pariwisata memang jelas menjadi tujuan utama pemerintah Indonesia begitu gencar mempromosikan kontes ini. Selain itu prestis bangsa juga dianggap akan naik apabila kita berhasil merebut gelar tersebut.
Namun secara bijak bukan itu poin yang dapat dibanggakan bangsa Indonesia. Bukan sekedar gelar ‘ajaib’ yang nantinya diperoleh ketika kita nanti berhasil ‘menyetorkan’ sejumlah uang dengan sistem SMS agar aset bangsa kita bisa melenggang di dunia Internasional. Padahal, Komodo sendiri sudah cukup dikenal dengan gelar warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1986. Jadi apa perlu kita meraih gelar ‘ajaib’ tadi dengan cara yang demikian?
Komodo sendiri bukanlah binatang yang sangat kuat dan dapat bertahan dari segala ancaman. Komodo merupakan spesies yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim, suara bahkan kedatangan manusia. Faktanya, satu tepukan tangan manusia sudah cukup untuk membuat Komodo terusik. Apa jadinya jika pariwisata ke Pulau Komodo terus meningkat? Bukankan selama ini Komodo dapat bertahan ribuan tahun hanya karena pengunjung yang sedikit sehingga minim gangguan?
Semangat berbagai kalangan dan lapisan masyarakat yang mendukung Komodo memang patut diacungkan jempol. Namun itu pula yang menjadi cerminan bahwa bangsa Indonesia belum semaju dan semodern yang dibayangkan. Tanpa menyinggung pihak manapun, inilah karakter bangsa yang perlu diubah. Masyarakat cenderung mengikuti trend tanpa mengerti substansi dan duduk permasalahan terlebih dahulu. Orang-orang banyak mendukung dan memberikan support hanya karena label “nasionalisme”. Inilah nasionalisme bangsa kita, nasionalisme satu rupiah. Hidup KOMODO!

Untuk lebih jelas tentang FAQ Pro-Kontra Komodo, bisa dibaca di : http://bit.ly/tgQlqo

——–

(1) http://bit.ly/uFj7BB

3 responses to this post.

  1. nice post. mudah- mudahan bisa membantu masyarakat untuk bisa berfikir lebih kritis terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu.

    Reply

  2. amin, semoga ya mba. Anyway makasi udah mampir. Salam kenal mba 🙂

    Reply

  3. Sorry, layanan sms ditutup! (bingung simpen recehannya di bank mana!!) 😀

    anyway, sering2 mampir ke tetangga ya ndu.. !!

    Reply

Leave a reply to Gita Trianti England Sinaga Cancel reply